Sarung Donggala adalah kain tenunan sutra didaerah pesisir kabupaten donggala. Donggala, kota tua bekas pelabuhan diera kolonial di Sulawesi Tengah. Tradisi menenun sarung donggala atau buya sabe bahasa Kaili, lipa sabbe bahasa bugis dari generasi ke generasi diwariskan masyarakat donggala. Menenun dilakukan kaum hawa disaat para suami melaut dalam waktu yang lama. Dayang Sumbi dalam legenda Sangkuriang digambarkan sebagai sosok wanita yang pandai menenun. Sentra kerajinan kain tenunan tradisional ini berada didesa salubomba, towale, watusampu, tosale, kolakola, limboro, kabonga kecil, loli, wani dan daerah lain di wilayah Kabupaten. Donggala, Sulawesi Tengah. [1]. Kain tenunan donggala dahulu hanya dikenakan pada saat upacara adat, dibuat dari bahan sutera alami dalam berbagai motif dan warna dikerjakan menggunakan alat tenunan tradisional didesa-desa di wilayah donggala. Sarung Donggala merupakan produk tradisional kriya indonesia memiliki beragam desain motif antara lain motif buya bomba (motif bunga ), bunga mawar, bunga anyelir, kamboja ,motif daun, motif fauna, kombinasi bunga subi dan bomba, palaekat serta bunga subi yang memiliki corak benang emas. Motif buya bomba atau motif bunga berbentuk geometrik garis vertikal dan kotak persegi panjang komposisi motif disusun secara diagonal. Motif yang berhubungan dengan manusia dianggap tabu, proses pengerjaan motif buya bomba paling rumit membutuhkan waktu hingga 2 hingga 4 bulan dibandingkan motif lainnya.